Amrozi,
Noordin M, Top, Imam Samudera. Dulmatin, Dr. Azhari, Ali Gufron, Ibrahim,
Muhammad Syarif, dan entah deretan nama tersebut akan berhenti sampai di situ
saja atau bahkan terus bertambah. Diawali dari tragedy WTC tahun 2000 silam,
istilah teroris mulai menyeruak ke kalangan masyarakat. Kejadian yang
disebut-sebut merupakan hasil dari tangan dingin Osama Bin Laden nyatanya
memang menjadi tonggak awal ‘perkembangan’ terorisme di dunia. Tidak terkecuali
di Indonesia. Kasus Bom Bali yang merenggut nyawa ratusan jiwa yang tidak
berdosa sama halnya dengan tragedy WTC di Amerika Serikat. Terhitung sejak saat
itu, POLRI seakan memiliki job baru. POLRI bahkan sampai harus membuat sebuah
detasemen khusus anti terror yang dikenal dengan Densus 88. Kebanyakan dari
para teroris yang telah disebutkan namanya di atas mati konyol karena tubuh
mereka ikut hancur bersama kepingan logam yang terdapat dalam bom. Bahkan, tubuh
mereka itulah yang pertama kali mersakan dahsyatnya ledakan, sebelum pada
akhirnya juga menewaskan ratusan jiwa. Beberapa di antara mereka yang tidak
merasakan ‘hangatnya’ ledakan, justru harus mencicipi peluru panas dari si
penembak jitu. Jika dilihat secara kasat mata seperti itu, apa keuntungan yang
mereka peroleh? Alih-alih melakukan jihad atas nama agama, mereka bahkan malah
merusak tatanan agama mereka sendiri. Jika mereka berdalih apa yang mereka
lakukan tersebut dilatarbelakangi atas dasar persatuan dan kesatuan bangsa,
mereka nyatanya malah mencabik-cabik ketenangan bangsa sendiri. Lalu apa
sebenarnya yang menjadi alasan utama mereka menjatuhkan pilihan untuk menjadi
seorang teroris? Motivasi seperti apa pula yang mereka dapatkan, sehingga hati mereka
seakan mantap untuk membunuh ratusan jiwa yang tidak bersalah? Melalui tulisan
ini, saya akan mencoba untuk menguraikannya.
Beberapa
ilmuwan yang tertarik untuk meneliti mengenai teroris ini menemukan bahwa
sebagian besar orang yang merasa bahwa dirinya menyatu dalam kelompok (semacam
kelompok teroris) akan bersedia untuk melakukan tindakan-tindakan yang ekstrem,
bahkan bersedia mati untuk kebaikan kelompoknya. Menurut Martha
Crenshaw (2007), ada penjelasan yang berkaitan antara perilaku, tingkat individu, dan kelompok. Jika
seseorang memutuskan untuk terlibat dalam kekerasan politik dan menimbulkan
perasaan antisocial, maka seringkali motivasi yang melatarbelakanginya adalah
ketidakpuasan pribadi dengan hidup dan prestasinya. Di saat yang bersamaan,
teroris memproyeksikan perasaan anti sosialnya kepada orang lain, sebagai
bentuk pembenaran dari perbuatannya.
Pada tingkat
kelompok, motivasi psikologis merupakan intensitas dinamik kelompok di antara
para teroris. Mereka yang ada dalam kelompok tersebut menuntut kebulatan suara,
dan para anggotanya tidak diizinkan untuk membangkang. Intensitas pertemuan
yang terdapat dalam kelompok tersebut mengakibatkan timbulnya rasionalisasi
terhadap tindakan kekerasan. Oleh karena itulah, para pelaku teroris ini bukanlah
seseorang yang memiliki penyakit atau kelainan jiwa. Dalam penelitian empiris
yang dilakukan oleh Crenshaw, tidak ditemukan adanya kecendrungan psikopat
dalam kelompok teroris ini.
Para teroris
ini, seperti yang diungkapkan oleh State Department (2002) merupakan para
individu yang tidak memiliki rasa moral sedikitpun. Teroris ini tidak hanya
membunuh ratusan jiwa, namun juga mengancam system demokrasi, ekonomi, dan
tatanan pemerintahan di beberapa wilayah negara. Namun kembali lagi, peran
masyarakat ternyata cukup besar dalam mengembangkan jaringan teroris. Hanya
saja, kita memiliki hambatan untuk menguak apa sebenarnya factor yang
melatarbelakangi para teroris dalam melakukan aksinya dikarenakan sebagian
besar para pelaku teroris ini turut hancur bersama kepingan-kepingan logam yang
terkandung di dalamnya. Maka, yang dapat dijelaskan selanjutnya adalah bahwa
salah satu hal lagi yang dapat menjadi motivasi seseorang untuk menjadi teroris
adalah adanya perilaku yang tidak ramah dari lingkungan terhadap dirinya.
Lingkungan di sini dapat mencakup lingkungan keluarga ataupun lingkungan
sosialnya. Sebagai contoh saja, cerita dari warga sekitar yang tiggal dekat
dengan kediaman para pelaku terror ini. Masyarakat sekitar kerap menuturkan
bahwa pelaku terror ini dalam kesehariannya memang tidak memiliki kelekatan
dengan tetangga sekitar, bahkan mereka cenderung menutup diri karena dianggap
memiliki perilaku yang aneh dan tidak seperti warga kebanyakan. Hal ini
berrarti bahwa masyarakat secara tidak langsung memiliki pengaruh terhadap
pembentukan individu hingga menjadi teroris.
Ketika masyarakat sekitar dan keluarga
menolak dia, memperlakukannya secara tidak ramah, maka individu teroris ini lantas
merasa tertekan secara psikologis. Hasilnya, mereka kemudian mencari semacam
tempat berteduh sebagai tempat berlindung. Disinilah kemudian, peran kelompok
teroris ini menjadi bertambah besar. Kelompok ini mampu menciptakan suasana
yang bersahabat bagi mereka, sehingga lama kelamaan mereka memiliki kesamaan
dalam pola pikir. Segala macam bentuk doktrinasi dari pemimpin kelompok
tersebut ditelan secara mentah-mentah dalam pola piker si pelaku teroris,
sehingga cara berpikir mereka dapat dikendalikan oleh kelompok tersebut.
Jika
dilihat secara lebih lanjut, mereka melakukan aksi terror ini untuk keluar dari
perasaan tertekan dan berusaha untuk menciptakan kehormatan dirinya dengan
melakukan aksi terror tersebut. Oleh karena itulah, pemicu timbulnya perilaku
ini menjadi sangat rumit. Jika dikatakan adanya alasan ekonomi, hal ini
bukanlah satu-satunya alasan. Semua pihak yang ada dalam lingkungan ekologis
seorang individu terus memberikan pengaruhnya. Dalam kondisi seperti ini, agen
social yang mencakup pejabat pemerintahan, kurang memberikan usaha dalam
menciptakan suasana yang damai dan tenteram sehingga kelompok-kelompok semacam
ini terus menjamur dan berkembang secara pesat.
Semacam
halnya kasus teroris Muhammad Syarif. Dari kasus tersebut dapat terlihat bahwa
latar belakang keluarga merupakan penyebab utama dari perilaku yang
ditampilkannya. Dalam cerita yang ditulis dalam artikel, terlihat bahwa adanya
kekurangan komunikasi antara Syarif dan orang tuanya. Bagaimanapun juga, peran
orang tua dalam perkembangan anaknya merupakan hal utama yang tidak bisa
ditolak lagi. Syarif tumbuh sebagai individu yang berlindung dalam sebuah
kelompok, dia cenderung lebih dekat dengan kelompok terorisnya dibandingkan
dengan orang tuanya. Hal ini berarti, orang tua sangat kehilangan kesempatan
untuk mengendalikan kepribadian sang anak, justru mereka memberikan kesempatan
yang besar untuk mempengaruhi perkembangan psikologis Syarif.
Ketika
keadaan psikologis Syarif sedang berada dalam masa kelabilan inilah, mereka
kemudian memasukkan ajaran-ajaran yang mampu ‘mencuci otak’ Syarif. Perilaku
dalam kesehariannya semakin berubah, mengikuti ajaran yang diterapkan dalam
kelompoknya. Hubungan dia dengan orang tuanya juga menjadi berubah, dia menjadi
pribadi yang antisocial dan apathy. Seiring dengan kerenggangan hubungan
itulah, Syarif kemudian semakin memantapkan dirinya sebagai seorang teroris dan
bersedia melakukan pembelaan atas nama agama, sebagaimana yang didoktrinkan
dalam kelompoknya.
boleh tau refrensi terkait artikel ini apa ya ? soalnya saya ada tugas untuk bikin artikel tentang jihad dan aktualisasi diri. maksih :)
BalasHapus